Sejarah Singkat Kabupaten Bekasi

Oleh Ali Anwar

Masyarakat Bekasi memiliki jati diri kuat, peradaban unggul dan sejarah yang panjang. Para ilmuwan hingga pujangga mencatat betapa nama Bekasi telah termasyhur sampai penjuru Nusantara dan mancanegara sejak ribuan tahun silam.

Ahli filologi Prof. Dr. R. Ng. Poerbatjaraka mentahbiskan nama Bekasi berasal dari kata Chandrabhaga, nama sungai yang dibangun pada abad ke-5 Masehi oleh salah seorang Raja Tarumanagara bernama Rajadhiraja Yang Mulia Purnawarman. Poerbatjaraka mengurai kata Candrabhaga menjadi dua kata, yakni Chandra yang berarti “bulan” dan Bhaga yang berarti “bahagia”.

Kata Chandra dalam bahasa Sanskerta sama dengan kata Sasi dalam bahasa Jawa kuno, sehingga nama Candrabhaga identik dengan kata Sasibhaga, yang apabila diterjemahkan secara terbalik menjadi Bhagasasi.

Pada perkembangannya, pelafalan kata Bhagasasi mengalami perubahan. Berbagai sumber tertulis abad ke-18 sampai abad ke-21 menerakan nama Bekasi dengan tulisan Bakasie, Bekasjie, Bekasie, Bekassi, dan terakhir Bekasi.

Bekasi juga dikenal sebagai Kota Patriot, karena dari masa ke masa, terutama pada masa penyerangan tentara Mataram terhadap VOC di Batavia pada 1628-1629 sampai perang kemerdekaan 1945-1949, wilayah Bekasi merupakan front terdepan bagi para patriot pejuang Indonesia untuk menghalau Belanda yang berada di Jakarta.

Patriotisme dan perjuangan yang dilakukan para pejuang, termasuk Pahlawan Nasional KH Noer Alie, mengilhami banyak orang untuk berkarya. Seperti Chairil Anwar melalui sajak monumental “Krawang-Bekasi,” wartawan Darmawijaya dalam puisi “Kami Membangun, Pembakaran Bekasi,” pencita lagu dan aranser Ismail Marzuki melalui lagu “Melati di Tapal Batas,” budayawan Pramoedya Ananta Toer dalam roman sejarah Di Tepi Kali Bekasi, serta sejarawan Bekasi Ali Anwar dalam buku Sejarah Bekasi Sejak Purnawarman sampai Orde Baru, Cuplikan Sejarah Patriotik di Bekasi, KH Noer Alie Ulama Pejuang dan Bekasi Dibom Sekutu.

Kini, di usianya yang ke-58, Kabupaten Bekasi tetap termasyhur. Sepertiga produk ekspor Indonesia berasal dari Bekasi. Belakangan bumi Bekasi mengandung minyak dan gas melimpah yang menyumbangkan devisi besar bagi negara. Bahkan Kepolisian Republik Indonesia dan kepolisian Jepang menetapkan Kepolisian Resort Bekasi sebagai kepolisian percontohan dengan konsep polisi komunitas (community police) model koban dalam bentuk pospol-pospol.

Tarumanagara Puncak Peradaban Buni

Chandrabhaga merupakan salah satu kata dalam Prasasti Tugu yang ditemukan di Kampung Batu Tumbuh, Tugu, Kecamatan Cilincing, Kabupaten Bekasi (sejak 1970-an Cilincing dimasukkan ke dalam wilayah Jakarta Utara). Karena Prasasti Tugu merupakan prasasti bertulis tertua di Pulau Jawa (abad ke-5 Masehi), maka masyarakat Bekasi dan sekitarnya merupakan masyarakat pertama di Pulau Jawa yang telah mengenal huruf dan membaca.

Selain Prasasti Tugu, Tarumanagara juga menerakan jejaknya pada Prasasti Ciaruteun, Prasasti Muara Cianten, Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Jambu, Prasasti Pasir Awi, dan Prasasti Cidanghiang. Para arkeolog terus melakukan penelitian untuk “menghidupkan” kembali Tarumanagara. Rupanya, KerajaanTarumanagara merupakan puncak peradaban masyarakat Bekasi, Karawang, Jakarta, Bogor, bahkan sebagian Jawa Barat dan Banten.

Sedangkan akar peradaban Bekasi berlangsung sejak 1000 tahun Sebelum Masehi pada jaman Neoliticum dan Paleometalik. Buktinya, pada 1960-an di Kampung Buni Pendayakan, Desa Buni Bakti, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, ditemukan berbagai peralatan hidup masa 2000 tahun silam, seperti beliung persegi, manik-manik, perhiasan emas, periuk, piring, kendi, dan piring arekamedu.

Para arkeolog dunia menjulukinya sebagai Situs Buni, sedangkan masyarakat mengabadikan penemuan emas yang menghebohkan itu dalam bentuk nama jalan, yakni Jalan Pasar Emas.

Sejarah terus terkuak. Ternyata sekitar 30 kilometer ke arah timur dari Situs Buni atau 40 kilometer dari Prasasti Tugu, di Desa Batujaya, Kabupaten Karawang, arkeolog menemukan kompleks percandian Tarumanagara seluas 150 hektar.

Pengaruh Hindu dan Islam

Kejayaan Tarumanagara yang lebih mengandalkan transportasi Kali Bekasi, Citarum, dan Ciliwung, lambat laun surut bersamaan dengan serangan kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7-8 dan masuknya Islam dari Timur Tengah ke Nusantara sejak pertama hijriyah (abad ke-7 Masehi).

Saat Tarumanagara yang beragama Hindu dalam posisi amat lemah pada abad ke-10, muncul kerajaan Hindu Sunda di sekitar Bogor sekarang. Kemudian pada abad ke-14-15 di Bogor berdiri Kerajaan Pajajaran dengan Sunda Kalapa sebagai pelabuhannya.

Rupanya masuknya Islam melalui pesisir lambat-laun memiliki penganut yang kian bertambah. Salah seorang ulama terkemuka di sekitar Bekasi dan Karawang adalah Syeikh Hasanuddin atau Syeikh Quro (1416), yang petilasannya diyakini berada di Kampung Puo Bata, Lemah Abang, Karawang, dan diziarahi umat Islam hingga sekarang.

Konon, salah seorang santri Syeikh Quro, Nyi Mas Subang Larang, menikah dengan Raja Galuh Purwa Nagari, Prabu Siliwangi, yang semula beragama Hindu. Nyi Subang Larang dan kedua anaknya, Rakean Walangsungsang dan Nyi Mas Rarasantang diyakini ikut menyebarkan ajaran Islam di Jawa Barat.

Tome Pires dalam catatan perjalanannya pada 1513-1515 menyatakan, Pajajaran memiliki kekuasaan atas pelabuhan Banten, Pontang, Tangerang, Kalapa, sampai Cimanuk. Dengan demikian saat itu Bekasi masuk dalam wilayah Kerajaan Pajajaran. Namun Raja Pakuan Pajajaran yang beragama Hindu cemas terhadap pengaruh dan kekuatan orang Islam yang membentang di sepanjang pesisir utara Pulau Jawa, terutama banten, Cirebon, dan Demak.

Khawatir diserang kerajaan-kerajaan Islam, Pajajaran meminta bantuan Portugis pada 1522. Kekhawatiran Pajajaran terbukti. Pada 1527 Faletehan atau Fatahilah bersama Cirebon dan Demak menguasai pelabuhan Sunda Kelapa. Falatehan yang mengubah Sunda Kalapa menjadi Jayakarta dengan pusat kerajaan di sebelah kiri Ciliwung, memiliki kekuasaan sampai Cisadane di sebelah barat, Citarum di sebelah timur, keraton Pajajaran di sebelah selatan, dan pulau-pulau di sebelah utara. Dengan demikian Bekasi yang terletak di sebelah timur termasuk dalam kekuasaan Jayakarta.

Basis Pertahanan Mataram

Organisasi dagang Belanda VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) yang diizinkan Pangeran Jayakarta Wijayakrama untuk mendirikan benteng di sebelah utara keraton Jayakarta, malah ingin menguasai Jayakarta sehingga terjadi konflik. Dalam pertempuran selama sebulan, VOC menaklukkan Jayakarta pada 31 Mei 1619. Selanjutnya Jayakarta diganti menjadi Batavia.

Dari Batavia, VOC melakukan ekspansi dagang dan kekuasaan ke wilayah lain di Nusantara. Kondisi ini membuat marah Raja Mataram, Sultan Agung. Maka, sejak 1828 sampai 1830 Mataram mengirimkan pasukan dan mengepung Batavia. Sedangkan perbekalan dan peristirahatan pasukan ditempatkan di Bekasi, Karawang, Cirebon, dan Tegal. Namun sayang, pasukan Mataram gagal menguasai benteng Batavia. Perbekalan Mataram dibakar VOC dan kaki tangannya.

Para prajurit yang tidak kembali ke Mataram, menetap dan berkeluarga di sekitar Bekasi dan Karawang. Kaum urban dari Mataram ini tentu saja memberi tambahan warna terhadap budaya masyarakat setempat, terutama mental pejuang, pemberontak, jago, santri, dan seniman. Para pemimpimpin grup kesenian topeng Bekasi, sebagai contoh, selalu mengklaim bahwa kesenian mereka tumbuh sejak para pasukan Mataram menetap di Bekasi.

Di sekitar Batavia, pengaruh hukum VOC meluas sampai ke Bekasi, Buitenzorg (Bogor), Karawang, dan Priangan. Tetapi karena wilayah yang dikuasai VOC selalu tidak aman, terutama diganggu oleh pasukan Mataram dan pemberontakan etnis Cina di Batavia sampai Bekasi pada 1740, VOC menghadiahkan tanahnya kepada orang-orang yang dianggap berpihak kepadanya: opsir atau komandan, pemimpin adat, demang, mandor, dan orang Cina.

Kawasan Industri Pertanian

Pada akhir abad ke-18 VOC bangkrut akibat terlalu besar mengeluarkan biaya untuk perang, pembelian senjata, membayar pegawai dan tentara, serta korupsi yang merajalela. Pemerintah Belandapun mengambilalih semua kekuasaan dan kekayaan VOC pada 1799, sedangkan kelembagaan VOC diubah menjadi Pemerintah Hindia Belanda.

Birokrasi Pemerintah Hindia Belanda dibedakan dalam dua jenis, yakni pejabat berkebangssan Eropa (Binennlandsch Bestuur) dan pangrehpraja atau pejabat pribumi (Inlandsch Bestuuur). Secara struktural pejabat Eropa meliputi Gubernur Jenderal, Residen, Assisten Residen, Kontrolur (Controleur). Sedangkan pangrehpraja meliputi Patih, Bupati, Wedana, Assisten Wedana. Saat itu Bekasi dan Cikarang berstatus distrik atau kewedanaan dari Regenschaap atau Kabupaten Meester Cornelis, Residensi Batavia.

Konsep kepemilikan tanahnya diubah. Kalau pada masa kerajaan pribumi, tanah adalah milik raja, sedangkan pada masa Hindia Belanda tanah milik pemerintah. Untuk meningkatkan anggaran, tanah-tanah yang memiliki potensi pendapatan ekonomi disewakan kepada pihak swasta sampai 75 tahun.

Sedangkan sebagian besar tanah di Kewedanaan Bekasi dan Kewedanaan Cikarang disewa atau dikuasai secara partikelir (particuliere landerijen) oleh para tuan tanah (landheer) dari etnis Cina. Sehingga sejak awal abad ke-19, Bekasi dan Cikarang menjadi kawasan industri pertanian dan pekebunan, terutama padi, kelapa, karet, tebu, sayur-mayur, dan buah-buahan. Perkebunan tebu dan pabrik gula, sebagai contoh, dibangun di Kampung Gabus, Karangcongok, Bekasi, pada 1840-an. Arus urbanisasi tak terelakkan, terutama dari Cirebon, Banten, dan Mataram.

Rupanya di tanah yang subur ini para tuan tanah kapitalis yang lebih mengeksploitasi ketimbang mensejahterakan penduduknya. Sedangkan pejabat pemerintah lebi berpihak kepada kepentingan tuan tanah ketimbang masyarakatnya, sehingga menimbulkan keresahan agraris dan sosial. Keresahan tersebut memuncak pada pemberontakan petani di Tambun pada 1869 yang menewaskan Assisten Residen Meester Cornelis C.E. Kuyper.

Pembangunan rel kereta api Manggarai sampai Kedunggedeh pada 1887 pada satu sisi mempercepat arus barang dan penumpang, namun di sisi lain kian memperbesar peluang eksploitasi terhadap hasil bumi dan tenaga manusia. Hidup masyarakat kian terbebani oleh kenaikan harga, upah buruh yang rendah, serta penarikan berbagai jenis pajak (cuke, sewa tanah, penangkapan binatang, pengairan, pohon, pemanfaatan tanah, pesta, pasar), rente dan ijon, dan pungutan liar.

Sarekat Islam Penyalur Aspirasi

Saat masyarakat Bekasi kebingungan menyalurkan aspirasinya, pada 1913 hadir Sarekat Islam. Organisasi pergerakan yang memakai simbol-simbol Islam ini sanggup menjadi wadah penyalur aspirasi masyarakat tertindas, karena selalu dibela bila anggotanya dirugikan pemerintah dan tuan tanah.

Pemerintah Kewedanaan Bekasi yang ketakutan terhadap perkembangan Sarekat Islam, sampai ikut campur tangan dengan cara mengubah nama Sarekat Islam menjadi Djoemiat Islamijah. Untuk melawan Djoemiat Islamijah, tuan tanah mendirikan organisasi tandingan bernama Kong Djie Hin. Konflik meruncing dalam bentrokan antara 3000 anggota Djoemiat Islamijah dengan ratusan orang kaki tangan tuan tanah dan mandor di pada 13 Desember 1913.

Untuk menenangkan Bekasi, beberapa tuntutan masyarakat dipenuhi. Djoemiat Islamijah kembali menjadi Sarekat Islam, upah kerja buruh dinaikkan. Beratnya ongkos dan biaya hidup, membuat kaum buruh kembali menuntut kenaikan upah pada 1919. Namun pemerintah dan tuan tanah bukannya meningkatkan kesejahteraan buruh, malah melakukan penekanan dengan cara menambah pasukan militernya sejak 1922.

Tuan tanah juga tidak menghendaki penduduknya berpendidikan tinggi, karena khawatir menjadi ancaman. Itu sebabnya, sampai awal 1930-an tidak ada lembaga pendidikan umum di Bekasi, sehingga kebanyakan anak-anak Bekasi menempuh pendidikan dasar di madrasah-madrasah. Hanya santri yang gigih, cerdas, pintar dan berpikiran majulah yang bisa bermukim ke Makkah, Saudi Arabia. Itupun dengan biaya sendiri, seperti KH Noer Alie, KH Mochtar Tabrani, KH Muhajirin, KH Masturo.

Pendudukan Militer Jepang

Setelah menang dalam Perang Dunia II, Pemerintah Pendudukan Militer Jepang yang memperoleh wilayah Pasifik dan selatan Jepang amat mudah menguasai Indonesia pada 1942. Begitu juga saat datang ke Bekasi, kedatangan Jepang disambut dengan antusias. Karena Jepang yang sama-sama dari Asia dan dianggap “saudara tua” mampu menggantikan kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda.

Sebelum Jepang mengambilalih pemerintahan dan keamanan, Jepang mengajak masyarakat Bekasi melakukan penggedoran (penjarahan) terhadap rumah, gudang, dan toko tuan tanah Cina. Bendera Merah-Putih dikibarkan, lagu Indonesia Raya diperdengarkan. Namun, kegembiraan hanya berlangsung sepekan. Selebihnya, hidup masyarakat Bekasi dalam ketakutan, kelaparan, kemiskinan, dan kematian.

Salah seorang penjarah, Mahbub, malah dipancung di Alun-alun Bekasi. Merah-Putih diganti bendera Jepang (bola merah), lagu Indonesia Raya diganti dengan lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo. Residensi Batavia diganti menjadi Jakarta Shu, Kabupaten Meester Cornelis menjadi Jatinegara Ken, Kewedanaan atau Distrik Bekasi dan Cikarang menjadi Bekasi Gun dan Cikarang Gun, Onderdistrik atau kecamatan menjadi Sen, Desa menjadi Ku.

Masyarakat Bekasi banyak yang dijadikan pekerja paksa atau Romusha, hasil panen harus diserahkan kepada pemerintah. Manfaat pendudukan Jepang diantaranya, para pemuda dilatih kemiliteran seperti Seinendan (barisan pemuda), keibodan (pembantu polisi), heiho (baris-berbaris) yang lulus dilatih militer dalam Pembela Tanah Air (Peta).

Meski daya cengkeram Jepang amat kuat, namun para tokoh Bekasi melakukan siasat dengan cara menanamkan semangat keagamaan dan nasionalisme kepada para santri dan anak muda. Seperti KH Noer Alie di Ujungmalang, Babelan; Haji Rijan dan Husein kamaliy di Kranji. Sedangkan di Mesjid Pasar Bekasi berdiri Gerakan Pemuda Islam Bekasi (GPIB) yang dipimpin KH Abdul Hamid, Marzuki Urmaini, Hasan Sjahroni, Marzuki Hidayat. Di Tambun para pemuda dipimpin Angkut Abu Gozali, dan di Cikarang oleh Muhammad Hasan dan KH Fudholy.

Front Terdepan Para Patriot

Jepang menyatakan takluk kepada Sekutu setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom atom. Pemuda Indonesia memanfaatkan situasi ini dengan memproklmasikan kemerdekaan yang dibacakan Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesai (PPKI) mengubah namanya menjadi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Di Bekasi dibentuk KNI Bekasi yang memegang pemerintahan sipil, menyalurkan sumbangan dan mengurus korban perang.

Jakarta dikuasai Sekutu, sehingga Ibu Kota Negara dipindahkan ke Yogyakarta, sedangkan Pemerintahan Jakarta mengungsi ke Purwakarta. Sekutu dan Belanda yang berada di Jakarta amat antusias menguasai wilayah sebelah timur (Bekasi-Karawang), namun harus berhadapan dengan para patriot muda dan berani (BKR, TKR, dan badan perjuangan) di front terdepan, Cakung.

Berbagai peristiwa heroik terjadi selama perang. Diantaranya keikutsertaan rakyat Bekasi dalam rapat raksasa Ikada, pertempuran di stasiun Bekasi yang menewaskan 90 orang tentara Jepang, jatuhnya pesawat Dakota Inggris di cakung yang 26 pasukannya tewas di Bekasi.

Pertahanan Bekasi sempat goyah akibat perseteruan antarpejuang. KH Noer Alie dari Hizbullah menggabungkan badan-badan perjuangan dengan membentuk Badan Kelaskaran Bekasi pada 6 Januari 1946. Tapi KH Noer Alie mengundurkan diri, karena didesak oleh orang-orang yang ingin memasukkan ideologi politik sosialis Tan Malaka ke dalam tubuh Badan Kelaskaran Bekasi.

Perpecahan melebar sampai terjadi konflik internal di tubuh pejuang Republik Indonesia. Pasukan Lasykar Rakyat yang tidak mau bergabung ke dalam Tentara Republik Indonesia (TRI) di bawah Jenderal Soedirman, malah melucuti pasukan TRI dan menduduki markas TRI di Tambun pada 13 April 1947. Setelah terjadi pertempuran, TRI menaklukkan Lasykar Rakyat pada 15 April.

Sejumlah tokoh Lasykar Rakyat yang melarikan diri ke Jakarta–seperti Haroen Oemar, Aziz, Noerdin Pasariboe, Pandji, Fachroedin, Soemarmo, dan Soedjono–belakangan menjadi penunjuk jalan bagi Belanda saat Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947. Agresi memporakporandakan pertahanan Bekasi sampai Karawang.

Tentara Republik yang porakporanda ini dihimpun KH Noer Alie dalam wadah baru bernama Markas Pusat Hizbullah-Sabilillah (MPHS) Jakarta Raya yang dibentuk di Karawang pada September 1947. Wakil Residen Jakarta Mohammad Moe’min yang melihat kekosongan jabatan Pemerintah Jatinegara akibat ditinggalkan Bupati Jatinegara, Rubaya, menunjuk KH Noer Alie sebagai Koordinator Jatinegara pada 10 Januari 1948. Perang dengan Belanda berakhir yang ditandai dengan Konverensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, pada 27 Desember 1949.

Kabupaten Jatinegara Menjadi Bekasi

Bekasi menolak Republik Indonesia Serikat (RIS) dan menghendaki bergabung ke dalam Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Para tokoh masyarakat—seperti KH Noer Alie, R Supardi, M Hasibuan, Namin, Aminudin, Marzuki Urmaini, Marzuki Hidayat, Hasan Sjahroni, Lukas Kustaryo, membentuk Panitia Amanat Rakyat Bekasi. Mereka menghimpun sekitar 40 ribu orang warga Kewedanaan Bekasi dan Kewedanaan Cikarang di Alun-alun Bekasi pada 17 Januari 1950. Dalam apel akbar tersebut mereka berikrar keluar dari Distrik Federal Jakarta dan menolak Negara Pasundan, untuk selanjutnya bergabung kedalam NKRI.

Rupanya tuntutan masyarakat Bekasi diterima pemerintah pusat. RIS berubah menjadi RI, Kabupaten Jatinegara berganti nama menjadi Kabupaten Bekasi. Lantas, berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Kabupaten Jawa Barat, pada 15 Agustus 1950 Kabupaten Bekasi–bersama-sama Kabupaten Bogor dan Kabupaten Tengerang–dimasukkan ke dalam Provinsi Jawa Barat. Masa itu Bekasi dipimpin oleh Bupati R. Suhandan Umar (1949-1951) dan Penjabat Sementara Bupati KH Noer Alie (1951).

Ketika Bupati R Sampoerno Kolopaking (1951-1958) masyarakat Bekasi mengikuti pemilihan umum untuk yang pertama kali pada 1955. Hasilnya, komposisi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Peralihan (DPRDP) didominasi lima partai besar, yakni Masjumi 8 kursi, IP-KI 7 kursi, NU 3 kursi, PNI 2 kursi, dan PKI 2 kursi. Sedangkan delapan partai lainnya masing-masing 1 kursi.

Pada 1958-1960 Bekasi dipimpin oleh dua pemimpin, yaitu RMKS Prawira Adiningrat sebagai Bupati Bekasi dan Nausan sebagai Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Bekasi.

Meski Kabupaten Bekasi telah berubah menjadi Kabupaten Bekasi, namun pusat pemerintahan Kabupaten Bekasi masih di Jatinegara (sekarang Markas Kodim 0505 Jayakarta), sedangkan Dinas Pekerjaan Umum dan Jawatan Pertanian berkantor di Gedung Tinggi Tambun. Agar pelayanan lebih dekat dengan masyarakatnya, Prawira Adiningrat memulai pembangunan gedung pemerintahan di Bekasi Kaum, Bekasi Timur, Jalan Juanda, Bekasi.

Barulah ketika masa Bupati dan Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Bekasi Maun Alias Ismaun, pada 2 April 1960 Pusat Pemerintah Bekasi di gedung baru di Bekasi Kaum.

Pada 20 Agustus 1962 Kabupaten Bekasi memiliki logo pemerintahan dengan sesanti “Swatantra Wibawa Mukti” yang berarti daerah yang mengurus rumah tangganya sendiri, berpengaruh dan jaya makmur. Saat itu, Pemerintah Pusat membangun Saluran Induk Tarum Barat dari Purwakarta sampai Bekasi dan Jakarta.

Pemberantasan G30S/PKI

Pemberlakuan kembali kepada Undang-undang dasar 1945 seyogianya membuat bangsa Indonesia semain baik. Tapi pada kenyataanya, Presiden Soekarno meneraokan sistem politik Demokrasi Terpimpin. Partai-partai politik yang berlawanan dibubarkan, sedangkan yang mendukung seperti Partai Komunis Indonesia (PKI) dirangkul.

Konflik berujung pada peristiwa pemberontakan Gerakan 30 September (G30S/PKI). Komando Distrik Militer 0507 Bekasi dibawah pimpinan Komandan Seksi II Kapten Sidharta dan Komandan Seksi IV Kapten Henderik, menangkap pemimpin PKI Bekasi, Abas Djunaedi. Beberapa pasukan Tjakrabirawa ditangkap di Cibarusah.

Adapun para pemuda, mahasiswa, dan pelajar Bekasi membentuk Komando Aksi Tumpas yang dipimpin Ki Agus Abdurrachman (Pemuda Pancasila), Dadang Hasbullah (Pemuda Muhammadiyah), Abdurrachman Mufti, Ateng Siroj, Muhtadi Muchtar (PII) dan Damanhuri Husein (Gerakan Pelajar Pancasila) serta tokoh-tokoh lain dari unsur Gerakan Pemuda Anshor, IPNU, IPPNU, IPM dan lain-lain), serta Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI) Bekasi yang diketuai oleh Ateng Siroj dan sekretaris Damanhuri Husein.

Masa Orde Baru

Pada masa awal Orde Baru, Bekasi dipimpin Bupati MS Soebandi (1967-1973). Ketika itu, merupakan tahapan pembangunan lima tahun pertama, pemerintah meluncurkan bantuan pembangunan desa, berupa pembangunan jalan, gedung sekolah, dan kesehatan.

Bupati H. Abdul Fatah memimpin pada 1973-1983. Ketika itu Saluran Irigasi Tarum Barat selesai dibangun. Kemudian menyusul pembangunan Canal Bekasi Laut (CBL). Manfaatnya, 30 ribu hektar sawah mendapat air secara teratur. Sampai-sampai Kabupaten Bekasi sempat surplus beras, sehingga mampu memenuhi stok nasional dan menjadi salah satu lumbung padi Jawa Barat.

Pada masa itu dibangun Kantor Pemerintah Kabupaten Bekasi di Jalan Ahmad Yani No.1 Bekasi, stadion, gedung olahraga, monumen daerah, serta fasilitas-fasilitas umum lainnya. Pada sisi lain beberapa bagian wilayah Bekasi diambil kembali oleh DKI Jakarta, terutama Cakung, Cilincing, dan sebagian Pondok Gede.

Masa Bupati H. Suko Martono (1983-1993) pembangunan menekankan pada sektor pertanian. Bekasi kembali menjadi kawasan industri modern, perumahan, dan pertokoan. Bersama-sama tokoh masyarakat seeprti KH Noer Alie, Suko Martono mendirikan Yayasan Nurul Islam, yang salah satu programnya membangun gedung Islamic Centre.

Bupati H. Mochammad Djamhari (1993-1998) mencanangkan pembangunan dengan moto “Back to Village” (Kembali ke desa) dengan mengadakan berbagai proyek-proyek percontohan di sektor pertanian. Kepada para investor perumahan dikenakan kewajiban untuk menyediakan fasilitas pendidikan sekolah dasar dan lahan tempat pemakaman umum. Saat itu pusat kota dikembangkan menjadi Kota Administratif Bekasi menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Bekasi berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1996 tanggal 18 Desember 1996.

Masa Reformasi

Lengsernya Presiden Soeharto menandai awal era reformasi. Bupati H Mochammad Djamhari digantikan H Wikanda Darmawijaya (1998-2003). Melalui Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, sistem pemerintahan daerah terdapat perubahan. Posisi DPRD berada di luar Pemerintah Daerah, bahkan menjadi mitra sejajar dengan Pemerintah Daerah. Adapun Pemerintahan Daerah diselenggarakan secara lebih otonom.

Bupati bersama DPRD membangun Kabupaten Bekasi dengan visi “Manusia Unggul yang Agamis Berbasis Agribisnis dan Industri Berkelanjutan”. Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) ditingkatkan, kompleks prostitusi “Malvinas” ditutup untuk selanjutnya diganti menjadi Rumah Sakit Umum dan mesjid. Ibu Kota Kabupaten Bekasi, lengkap dengan gedung pemerintahan, DPRD, dan mesjid dibangun di Desa Sukamahi, Cikarang pusat.

Pembangunan gedung-gedung Pusat Pemerintahan Kabupaten Bekasi tersebut dilanjutkan oleh Bupati Drs. H.M. Saleh Manaf (2003-2006). Bahkan pada Bupati Saleh Manaf, gedung pemerintahan yang baru mulai difungsikan. Kecamatan yang berjumlah 15 kecamatan menjadi 23 kecamatan. Selama terjadi kekosongan jabatan bupati dan wakil bupati, ditunjuk Sekretaris Daerah Kabupaten Bekasi Drs. H.R. Herry Koesaeri S, M.Si sebagai Pelaksana Tugas Bupati Bekasi, dan Drs. H. Tenny Wishramwan, M.Si sebagai Penjabat Bupati Bekasi.

Pada masa itu diselenggarakan pemilihan Kepala Desa pada 105 desa. Masa ini pula dijadikan tonggak penting bagi sejarah Bekasi. Ulama pejuang almarhum KH Noer Alie menerima gelar Pahlawan Nasional dan Bintang Mahaputra Adhi Pradana dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara pada 9 November 2006.

Melalui pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung, Drs.H.Sa’duddin, MM dan H. M. Darip Mulyana, S.Sos, M.Si terpilih sebafai Bupati dan Wakil Bupati Bekasi periode 2007-2012.

Kini, pada ulang tahun Kabupaten Bekasi yang ke-58, dalam membangun masa kini dan masa depan yang lebih baik, kita selalu berkaca dari sejarah. Dengan belajar dari sejarahlah kesalahan dapat diminimalisasi dan kebenaran dan keberhasilan dapat ditingkatkan. Semua semata demi terwujudnya masyarakat Kabupaten Bekasi yang sejahtera, adil, dan makmur. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala meridhoi niat baik kita semua. Amien.

Bekasi, 1 Agustus 2008

Catatan: Sejarah Singkat Kabupaten Bekasi ini disampaikan dalam Rapat Paripurna HUT Kabupaten Bekasi ke-58 di Gedung DPRD Kabupaten Bekasi pada Jumat, 14 Agustus 2008. Namun karena kesemberonoan petugas di Badan Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Bekasi, sehingga hanya dua halaman dari naskah ini yang dikutip. Sedangkan naskah berikutnya sampai akhir tetap menggunakan naskah Sejarah Singkat Kabupaten Bekasi tahun 2007. Masalah ini sudah diklarifikasi penulis kepada Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat, Drs. H. Aspuri, M. Pd pada Rabu, 27 Agustus 2008. Aspuri berjanji akan mengganti kesalahan tersebut dengan mencetak lagi menggunakan naskah Sejarah Bekasi tahun 2008.

DAFTAR NAMA BUPATI KEPALA DAERAH

DAN KETUA DPRD KABUPATEN BEKASI

I. Bupati dan Kepala Daerah Kabupaten Bekasi

  1. Periode (1949 – 1951)

Bupati Bekasi dijabat oleh R. Suhandan Umar

  1. Tahun 1951 selama 3 (tiga) bulan

Jabatan sementara Bupati Bekasi selama 3 (tiga) bulan adalah KH. Noer Alie

  1. Periode (1951 – 1958)

Bupati Bekasi dijabat oleh R. Sampoerno Kolopaking

  1. Periode (1958 – 1960)

Bupati Bekasi dijabat oleh RMKS Prawira Adiningrat.

Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Bekasi dijabat oleh Nausan

  1. Periode (1960 – 1967)

Jabatan Bupati dan Jabatan Kepala Daerah Swatantra Tingkat II Bekasi dijabat dan dirangkap oleh Maun alias Ismaun.

  1. Periode (1967 – 1973)

Bupati/Kepala Daerah Tk.II Bekasi dijabat oleh MS. Soebandi

  1. Periode (1973 – 1978 dan 1978 – 1983)

Bupati/Kepala Daerah Tk.II Bekasi dijabat oleh H. Abdul Fatah

  1. Periode (1983 – 1988 dan 1988 – 1993)

Bupati/Kepala Daerah Tk.II Bekasi dijabat oleh H. Suko Martono

  1. Periode (1993 – 1998)

Bupati/Kepala Daerah Tk.II Bekasi dijabat oleh H. Moch. Djamhari

  1. Periode (1998 – 2003)

Bupati Bekasi adalah H. Wikanda Darmawijaya

  1. Periode (2003 s/d 16 Februari 2006)

Bupati Bekasi adalah Drs. H.M. Saleh Manaf

  1. Periode (16 Februaru 2006 s/d 27 April 2006)

Sebagai Pelaksana Tugas Harian (Plt) Bupati Bekasi yaitu Drs. H.R.Herry Koesaeri S, M.Si

  1. Periode (27 April 2006 s/d 19 April 2007)

Pejabat Bupati Bekasi adalah Drs. H. Teny Wishramwan, M.Si

  1. Periode (19 April 2007 s/d 14 Mei 2007)

Sebagai Pelaksana Tugas Harian (Plt) Bupati Bekasi yaitu Drs. H.R.Herry Koesaeri S, M.Si

  1. Periode (14 Mei 2007 s/d 2012)

Bupati Bekasi adalah Drs. H.Sa’duddin, MM

II. Ketua DPRD Kabupaten Bekasi

  1. Periode (1950 – 1956)

Madnuin Hasibuan selaku Ketua DPRDS

  1. Moh. Husein Kamaly

Periode (1956 – 1957) selaku Ketua DPRDP

Periode (1957 – 1960) selaku Ketua DPRD

Periode (1960 – 1967) selaku Ketua DPRD-GR

  1. Tahun 1960, selaku Ketua DPRD

Hasyim Ahmad

  1. Periode (1960 – 1967)

Maun Al Ismaun, selaku Ketua DPRD-GR

  1. Periode (1967 – 1971)

B. Efendi, selaku Ketua DPRD

  1. Periode (1971 – 1976 dan 1976 – 1981)

R. Supriyadi, selaku Ketua DPRD

  1. Periode (1981 – 1987)

H. Arsyad baedlowi, selaku Ketua DPRD

  1. Periode (1987 – 1992)

H.Roesmin, selaku Ketua DPRD

  1. Periode (1992 – 1997)

H. Abdul Manan, selaku Ketua DPRD

  1. Tahun 1997

H. Wikanda Darmawijaya, selaku Ketua DPRD

  1. Tahun 1997

H. R. Sugiyono, selaku Ketua DPRD

  1. Periode (1997 – 2004)

Drs. H. Damanhuri Husein, selaku Ketua DPRD

  1. Periode (2004 s/d 2006)

Ketua DPRD adalah Drs. H. Sa’duddin, MM

  1. Periode (2006 s/d saat ini/2007)

a.n.Pimpinan DPRD H. Nuradi S.

3 tanggapan untuk “Sejarah Singkat Kabupaten Bekasi

  1. Hi there…senang sekali mencari keyword nama ayahku tercinta keluar blog anda beserta sejarahnya. Thank you. Setidaknya namanya selalu abadi. :). Sukses selalu!

Tinggalkan komentar